Hidup di zaman ini memang serba sulit. Problem keseharian yang menumpuk  sudah tidak jarang lagi telah menempatkan seseorang untuk mengambil  jalan pintas. Faktor ekonomi yang tidak menentu inilah kemudian  menjadikan seseorang menghalalkan segala cara. Upaya untuk terus mampu  bertahan hidup di tengah kondisi yang serba tidak menentu dan  carut-marut. Hal itu cenderung mengarahkan seseorang untuk bersikap  egoistik, memikirkan diri sendiri dan bahkan nekat melakukan tindak  kriminal. Mulai dari bentuk-bentuk premanisme, pencurian, perampokan  hingga penculikan anak yang kini kian marak.
Dalam sebulan ini,  ibukota Jakarta dan sekitarnya telah digemparkan dengan adanya kasus  penculikan pada anak-anak. Penculikan yang selalu saja terjadi pada  setiap harinya. Tentunya hal ini menjadikan para orang tua merasa tidak  aman dalam kesehariannya yang selalu saja dihantui ketakutan akan  keselamatan anak-anak mereka. Betapa tidak resah, seorang anak yang baru  pulang sekolah tiba-tiba diculik sekelompok orang dengan tujuan tidak  jelas.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan  selama 2007 hingga Juni telah terjadi 39 kasus penculikan pada anak.  Parahnya lagi sejak Juni hingga Agustus ini saja telah bertambah 14  kasus penculikan. Padahal itu baru kasus-kasus yang dapat  teridentifikasi atas adanya laporan dari para korban. Tentu jumlahnya  jauh lebih besar dari yang ada saat ini, karena banyak para korban yang  tidak melaporkan lantaran khawatir atas keselamatan anak-anaknya.
Adalah  Raisah Ali, siswi TK Al-Ikhsan Jakarta, diculik beberapa waktu lalu  yang kini telah diselamatkan. Tak pelak, kasus penculikan anak seorang  pengusaha ini mengundang perhatian berbagai elemen masyarakat. Berbagai  media massa baik cetak maupun elektronik juga secara genggap gempita  selalu meliput perkembangannya. Bahkan istana negara dibuatnya heboh  seakan turut serta sehingga diadakannya konferensi press yang dilakukan  oleh Presiden SBY khusus terkaik dengan kasus ini.
Merebaknya kasus  penculikan anak di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia  sesungguhnya bukan lagi didasarkan atas balas dendam atau yang lainnya  seperti masa-masa terdahulu. Data di kepolisian menunjukkan bawah  kasus-kasus penculikan anak ini hanya sekedar untuk mendapatkan sejumlah  rupiah. Uang yang harus mereka dapatkan dalam waktu singkat. Artinya  mereka benar-benar hanya demi sejumlah uang dengan berbagai alasannya  bukan dendam (sakit hati) atau konflik antar keluarga.
Bergesernya  motif inilah kemudian yang harus direnungkan bersama. Kalau dulu  penculikan ini bermotifkan atas bentuk balas dendam atau konflik  keluarga, tapi kini motif penculikan seperti itu sudah jarang lagi  terjadi. Kini ada alasan lain yang mengharuskan para penculik melakukan  tindakan kriminal itu. Ialah mempertahankan diri untuk dapat terus hidup  di tengah situasi ekonomi yang serba sulit. Persoalan pelik yang terus  mencengkram sebagian besar masyarakat bangsa ini.
Kemiskinan dan  pengangguran yang terus meningkat drastis akhir-akhir ini menempatkan  situasi perekonomian mikro menjadi sangat rapuh. Ketidaksiapan  masyarakat dalam menghadapi arus pasar bebas dan globalisasi juga  dibuatnya kalang-kabut. Tatanan kehidupan yang terus berubah sangat  cepat setiap saat bahkan melebihi yang lainnya. Disaat-saat itulah  seakan-akan dituntut untuk dapat kompetisi. Kompetisi yang tidak lagi  memandang bulu. Jika masih ingin untuk tetap dapat terus melanjutkan  hidup maka haruslah berhasil.
Tak heran, dalam kondisi seperti itu  setiap individu pasti selalu memikirkan pribadi masing-masing.  Menganggap orang yang kurang beruntung lantaran mereka sendiri yang  kurang maksimal. Sedangkan bagi mereka yang terbilang sukses beranggapan  adalah hasil jerih payahnya sendiri. Menumpuk kekayaan tidak lebih  hanya untuk diri sendiri. Dalam hal ini jelas tidak ada lagi rasa  kebersamaan dan gotong-royong apalagi saling tolong menolong. Meskipun  bangsa ini dikenal akan semangat itu tetapi kini tidak lagi. Gelombang  monernisasi telah merubah paradigma perikehidupan masyarakat Indonesia.
Maka,  jangan salahkan mereka para penculik yang hanya sekedar sesuap nasi  harus berani untuk mennggandol anak orang terlebih dahulu. Bukan untuk  memberikan justifikasi terhadap mereka para pelaku penculikan anak,  tetapi saatnyalah untuk bercermin diri. Orang kaya-raya lahir dari  negeri ini disatu sisi, namun disisi yang lain sangatlah banyak rakyat  bangsa ini yang hidup jauh di bawah rata-rata. Mana Indonesia yang kala  dahulu dikenal makmur sumber daya alamnya dan ramah masyarakatnya? Kini,  yang ada hanyalah “Indonesia” dengan masyarakatnya dipisah oleh jurang  kesenjangan sosial yang sangat lebar dan mereka hidup atas  ketidakpedulian antar sesama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

 
 

 
 
0 komentar:
Posting Komentar